Maple Senja

Maple Senja
blog ini tentang berita, informasi unik, tips, sejarah tempat, islami, kesehatan, misteri, cinta dan lainnya.

Rabu, 30 November 2016

Mata-mata yang Jatuh Cinta kepada Fidel

Mata-mata yang Jatuh Cinta kepada Fidel

“Fidel Castro adalah tokoh besar saat itu…. Dia bak Bon Jovi hari ini.”

Hidup Ilona Marita Lorenz adalah salinan kisah Margaretha Geertruida MacLeod alias Mata Hari, intel keturunan Belanda yang dieksekusi mati tentara Prancis saat Perang Dunia I. Membaca kisah Ilona, sama seperti Mata Hari, sama serunya dengan novel James Bond yang ditulis Ian Fleming.
Ayah Marita, Heinrich Lorenz, seorang Jerman, sementara ibunya, Alice June Lofland, lahir dan tumbuh besar di Delaware, Amerika Serikat. Cerita keluarga ini juga lumayan seru. Sebelum menikah dengan Heinrich, kapten kapal komersial, Alice seorang penari di panggung Broadway. Ketika pecah Perang Dunia II, Heinrich menjadi perwira Jerman, sementara Alice bekerja untuk pihak lawan sebagai mata-mata pasukan Sekutu. Alice dan anak-anaknya sempat dijebloskan Jerman ke kamp konsentrasi.
Setelah Perang Dunia II berakhir, Heinrich bekerja di kapal pesiar mewah. Alice bergabung dengan Dinas Intelijen Amerika. “Aku tak pernah tahu untuk siapa ibuku bekerja…. Yang aku tahu, dia bekerja di dinas intelijen dan punya akses keamanan tingkat tinggi,” Valerie, kakak Marita, menuturkan kepada majalah Vanity Fair pada 1993. 
Sejak masih remaja, Marita mendesak ayahnya supaya diizinkan bekerja di kapal pesiarnya, MS Berlin. Kapal milik Norddeutscher-Lloyd ini biasa melayani rute Bremerhaven, Jerman-New York, Amerika. Pada Februari 1959, Kapten Lorenz memerintahkan anak buahnya menurunkan jangkar di Pelabuhan Havana, Kuba. 
Marita Lorenz menunjukkan fotonya bersama Fidel Castro.
Foto : ElDiariony
Saat Fidel bicara, dia akan bicara sangat dekat denganmu. Dia akan menatap langsung ke matamu.”
Marita Lorenz
Saat itu revolusi Kuba yang menumbangkan rezim Jenderal Fulgencio Batista baru lewat beberapa pekan. “Aku berdiri di ruang kendali kapal, melihat di kejauhan satu perahu menghampiri kapal kami,” kata Marita. Ada puluhan laki-laki bersenjata di atas perahu itu. “Satu orang tampak lebih tinggi dari lainnya dan dia menyandang senapan.”
Ayah Marita, Kapten Lorenz, tengah tidur siang. Marita yang baru 19 tahun pegang kendali kapal. Dari atas dek MS Berlin, Marita mendengar teriakan mereka. “Kami hendak naik ke dek kapal,” teriak seseorang di atas perahu. Gadis itu bertanya siapa mereka. “Yo soy Cuba…. Aku Comandante Fidel Castro,” laki-laki jangkung itu berteriak.
Marita yang masih belia tak tahu siapa Fidel Castro, pemimpin revolusi Kuba. Walaupun bingung dan grogi, gadis itu mengizinkan Fidel yang ditemani kawan karibnya, Ernesto “Che” Guevara, naik ke dek MS Berlin. “Aku ingin mencecap bir Jerman,” kata Che, tanpa banyak basa-basi. Masih gugup dan salah tingkah, Marita menemani Fidel berkeliling kapal.
Dengan tubuh menjulang lebih dari 190 sentimeter, cambang menutupi rahang, gaya bicaranya yang terus terang penuh percaya diri, Fidel yang 13 tahun lebih tua, membuat gadis muda itu “meleleh”. “Saat Fidel bicara, dia akan bicara sangat dekat denganmu. Dia akan menatap langsung ke matamu,” Marita mengenang. Saat gadis itu tengah berdandan dalam kabinnya, ada suara ketukan di pintu. 
Ternyata Fidel yang datang. “Apakah kamu punya asbak?” tanya Fidel. Di jarinya ada sebatang cerutu menyala. Hanya beberapa jam setelah bertemu, “api” itu mulai berkobar di antara Fidel dan Marita. “Aku salah tingkah…. Aku belum pernah punya pacar, tapi aku tertarik pada Fidel. Aku ingin dekat dengannya,” Marita menuturkan kepada majalah Observer belasan tahun lalu dengan tersipu malu.
Celia Sanchez, salah satu perempuan dalam hidup Fidel Castro
Foto : InsideCuba
Kala itu Marita memang masih “hijau”, sementara Fidel sudah pernah menikah dan punya pengalaman panjang dengan perempuan. Fidel pernah menikah dengan Mirta Diaz Balart, tapi bercerai pada 1955. Comandante Fidel memang bukan laki-laki setia. Saat masih menikah dengan Mirta pun dia sudah punya perempuan lain. Salah satunya Natalia Revuelta.
Hanya sehari Marita melewatkan waktu dengan Fidel Castro di atas kapal MS Berlin, tapi kisah mereka masih bersambung. Hasta siempre, Comandante!
* * *
Fidel Castro adalah cinta pertama Marita Lorenz. Konon, cinta pertama tak akan terlupakan.
“Ibuku sangat terkejut mendengar kabar itu,” Mark Lorenz, putra Marita, kepada New York Daily News, menuturkan reaksi ibunya setelah mendengar kematian Fidel Castro akhir pekan lalu. Sudah puluhan tahun Marita tak bertemu dengan mantan kekasihnya itu. Kini Marita tinggal di Kota New York, Amerika.
Sehari setelah bertemu pertama kali dengan Fidel, Marita bersama ayahnya berlayar pulang ke New York. Selama berhari-hari di New York, gadis itu terus ingat kepada Comandante Fidel. Di Havana, Fidel juga tak bisa melupakan Marita. Kakak Marita, Joachim Lorenz, masih ingat bagaimana telepon di apartemen mereka terus berdering.

Marita Lorenz dan Fidel Castro di atas kapal MS Berlin pada Februari 1959
Foto : Remezcla
Apakah kamu datang ke sini untuk membunuhku?.”
Fidel Castro 
Sampai suatu hari, ada lagi telepon dari Havana. “Aku tengah mengaduk adonan Jell-O dan telepon berbunyi… ternyata dia,” kata Marita. Sehari kemudian, pesawat yang dikirim Fidel dari Havana mendarat di Bandara New York untuk menjemput Marita. Tiba di Havana, Marita diantar ke Hotel Habana Libre. Di hotel itu, Fidel menempati satu lantai. Selama tujuh bulan, Marita tinggal bersama sang pemimpin revolusi Kuba.
Gadis itu sempat mendampingi Fidel melawat ke Amerika Serikat dan bertemu dengan Wakil Presiden Richard Nixon pada April 1959. Pemerintah Amerika memperlakukan Marita layaknya Ibu Negara Kuba. Di Amerika pula Marita sadar, dia mengandung anak Fidel Castro. “Luar biasa! Seorang bayi Kuba-Jerman,” Fidel berteriak setelah mendengar kabar kehamilan kekasihnya.
Bagaimana nasib janin di rahim Marita, dan bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Fidel, setelah hari itu jadi remang-remang. Marita menuturkan, intel-intel Dinas Intelijen Amerika (CIA) membiusnya dan memaksa janin di perutnya lahir prematur.
Saat kondisinya masih setengah sadar, seseorang berkata kepadanya. “Semuanya baik-baik saja. Bayimu selamat,” kata orang itu. Marita kembali dibius dan saat sadar sudah ada di kamar Hotel Habana. Di dalam kamar, beberapa pembantu Fidel Castro tengah mengemasi barangnya. 
Camilo Cienfuegos, komandan pasukan Kuba, mengatakan Marita akan dipulangkan ke Amerika. “Camilo mengatakan bayiku dibawa pergi oleh musuh-musuh Fidel,” kata Marita. Versi CIA, orang-orang suruhan Fidel-lah yang menggugurkan kandungan Marita. Gadis itu tak percaya cerita intel-intel CIA. “Aku tak tahu persis siapa pelakunya, tapi aku yakin bukan Fidel.”
Natalia Revuelta, mantan kekasih Fidel Castro
Foto : Lavanguardia
Sejak Fidel berkuasa di Kuba, CIA sudah merencanakan Operasi 40, operasi untuk membunuh Fidel Castro. Salah satu intel yang direkrut CIA adalah Frank Sturgis alias Frank Fiorini, mantan mata-mata Angkatan Laut Amerika. Sudah berkali-kali Frank mendekati Marita di Hotel Habana. Intel CIA ini memang sudah kenal lumayan lama dengan Castro bersaudara, Fidel dan Raul.
CIA juga mendekati dan “mencuci otak” Marita lewat ibunya, Alice Lorenz, yang memang sudah bekerja di dunia mata-mata Amerika sejak lama. “Aku sudah terlibat di bisnis mata-mata bahkan sebelum aku sadar,” kata Marita. Lewat mata dan telinga gadis itu, CIA mengendus setiap gerakan simpatisan revolusi Kuba di daratan Amerika.
Hingga suatu hari Marita diperkenalkan dengan Eduardo, bukan nama sebenarnya, tokoh kunci dalam Operasi 40. Laki-laki pendiam inilah penghubung langsung dengan lingkaran satu CIA. Eduardo pula—belakangan Marita tahu namanya, E. Howard Hunt—yang mengatur rencana pembunuhan Fidel Castro. Dengan rupa-rupa cerita, intel CIA meyakinkan Marita supaya mau jadi pembunuh mantan kekasihnya. Dua pil racun botulisme sudah disiapkan CIA untuk Fidel.
Pada awal 1960, Marita terbang ke Havana dengan rencana maut. “Hanya beberapa menit setelah melihat Kota Havana dari udara, aku tahu aku tak bisa melakukannya,” kata Marita. Dia naik ke mobil jemputan, langsung ke Hotel Habana. Tanpa banyak cakap, Marita masuk kamar 2408 dan menunggu. Pil racun itu dia buang ke lubang toilet.
Fidel Castro di atas kapal MS Berlin
Foto : Sabado


“Mengapa dulu kamu pergi tiba-tiba?” itulah pertanyaan pertama Fidel setelah bertemu dengan Marita. Fidel sangat santai, sementara Marita tegang bukan main. Fidel sepertinya sudah tahu rencana gadis itu. Dengan santai dia berbaring di kasur. “Apakah kamu datang ke sini untuk membunuhku?” tanya Fidel. 
Lalu dia mengulurkan pistolnya kepada Marita, tanpa berkedip. Seperti Fidel duga, Marita tak sanggup menarik pelatuknya. Mereka berpelukan dan selesai sudah. Rencana pembunuhan itu, satu dari ratusan kali usaha membunuh Fidel, gagal total. Intel-intel CIA marah besar. Beberapa jam kemudian, Marita pulang ke Miami, Amerika. 
Bisa dibilang, hari itu tamat pula kisah cinta Marita-Fidel Castro. Tapi “petualangan” Marita masih panjang. Dia sempat menjalin asmara dengan mantan diktator Venezuela, Marcos Jimenez, terlibat di remang-remang bisnis mata-mata, bahkan tersangkut kasus pembunuhan Presiden John F. Kennedy. Marita adalah versi lain Mata Hari.
Ibunya, menurut Monica Jimenez, putri Marita dari Marcos Jimenez, sepertinya memang memuja orang-orang berkuasa. “Fidel Castro adalah tokoh besar saat itu…. Dia bak Bon Jovi hari ini,” kata Monica.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar